KBR68H, Jakarta - 28 Oktober 1928, di gedung
Indonesische Clibgebouw, Jalan Kramat Raya no.
106, Batavia, seorang pemuda yang pernah bekerja
sebagai guru, penulis, wartawan di Kantor Berita
Alpena, juga Harian Sin Po Jakarta, dan tentu saja
sebagai violis di band jazz Black and White
memberikan secarik kertas. Isinya gubahan lagu
yang diciptakannya kepada Ketua Sidang Kongres
Pemuda II, Soegondo Djojopoespito. Sang Ketua
sidang sadar, bila lagu ini dinyanyikan dengan syair
akan sangat berbahaya. Karena di dalam gedung
tempat berlangsungnya kongres terdapat polisi
Hindia Belanda yang mengawasi setiap detik
momen di kongres tersebut.
Soegondo tetap memperbolehkan pemuda tersebut
membawakan lagu gubahannya, tapi dengan satu
syarat: tanpa syair. Syair lagu tersebut banyak
menggunakan kata ‘Indonesia’ dan ‘merdeka’,
sehingga timbul kekhawatiran akan membuat
masalah terhadap jalannya kongres (penghentian)
maupun peserta kongres (penangkapan).
Pada malam penutupan kongres, sang pemuda maju
dengan biolanya. Wage Rudolf Supratman
memainkan lagu gubahannya yang berjudul
‘Indonesia Raya’. Pada hari itulah lagukebangsaan
Indonesia dikumandangkan, untuk pertamakalinya.
Semua hadirin terpukau. Lagu tersebut menjadi
terkenal di kalangan pergerakan nasional pada
zaman itu. Apabila partai politik mengadakan
kongres, maka lagu tersebut selalu dinyannyikan.
Lagu Indonesia Raya dianggap sebagai perwujudan
rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka.
Lagu yang juga sempat dikumandangkan oleh Ron
‘Bumblefoot’ Thal, gitaris Guns N’ Roses,untuk
menghormati bangsa Indonesia pada konser
mereka di Jakarta, juga adalah lagu yang menjadi
awal kemalangan bagi penciptanya. Karena lirik lagu
tersebut, Wage Rudolf Supratman dikejar-dikejar
oleh polisi Hindia Belanda, sampai ia jatuh sakit dan
kemudian meninggal di Surabaya. Simak
ungkapannya sebelum meninggal:
“Nasipkoe soedah begini. Inilah yang disoekai oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Biar saja meninggal,
saja ichlas. Saja toh soedah beramal, berdjoeang,
dengan tjarakoe, dengan biolakoe. Saja jakin
Indonesia pasti merdeka”. Ia wafat pada tanggal 17
Agustus 1938, tanggal yang sama dengan tanggal
HUT Kemerdekaan RI.
Supratman lahir pada tanggal 19 Maret 1903, di
Dukuh Trembelang, wilayah desa Semogiri,
Purworejo. Ayahnya seorang Sersan KNIL yang
bernama Jumeno Senen Sastroharjo. Menurut
perhitungan Jawa, ia lahir pada hari Senin wage.
Ibunya memberikan nama ‘Wage’ pada nama
depannya. Karena ibunya meninggal beberapa
waktu setelah melahirkannya, Wage dijadikan anak
angkat oleh kakaknya, Roekijem, dan dibawa
bersamanya ke Makassar.
Suami Roekijem bernama W.M. van Eldik, seorang
Indo-Belanda yang bekerja sebagai Instruktur
Batalion XIX di kota Makassar. Wage
dimasukkannya ke ELS (Europesche Lager School,
Sekolah Dasar Belanda). Sebelum dimasukkan ke
sekolah itu terlebih dahulu namanya harus
“disamakan” dengan siswa Belanda lainnya. Karena
itulah ada kata Rudolf dalam namanya. Wage
merupakan pemain biola yang cukup mahir.
Selama 3 tahun mengasah bakatnya secara
intensif, ia dapat memainkan karya-karya klasik
dari Chopin, Beethoven, Liszt, Tchaikovsky dengan
solo biola. Wage sadar jalur perjuangan yang paling
tepat baginya adalah melalui musik. Sebagai musisi
yang brilian, ia juga paham bahwa lagu-lagu
perjuangan yang ingin ia ciptakan, tidak akan
mungkin lahir tanpa melibatkan dirinya secara
langsung dalam perjuangan tersebut.
Ia mulai menjalin persahabatan dengan tokoh-tokoh
pergerakan pada zaman itu. Tokoh-tokoh tersebut
antara lain Muhammad Yamin, Soegondo
Djojopoespito, dan Mohammad Tabrani. Pidato
Tabrani pula yang membulatkan tekadnya untuk
menggubah sebuah lagu kebangsaan. Sebelum itu,
Wage sebenarnya sudah merasa tertantang saat
membaca sebuah artikel di majalah Timboel,
terbitan Solo yang isinya menantang komponis
pribumi menciptakan lagu kebangsaan.
Pergaulannya dengan tokoh-tokoh pergerakan pada
zaman itulah yang membawanya ikut merasakan
perjuangan secara langsung dan mengilhaminya
untuk menggubah beberapa lagu. Terciptalah
lagunya yang pertama Dari Barat Sampai Ke Timur.
Lagu-lagu lain pun bermunculan di antaranya lagu
Di Timur Matahari,yang liriknya terinspirasi dari
berdirinya perkumpulan Indonesia Muda, yang
merupakan peleburan Jong Sumatra, Jong
Java,Jong Ambon, dan lain-lain.
Lagu Ibu Kita Kartini terinspirasi pada saat ia
mendapat kesempatan untuk meliput jalannya
Kongres Perempuan pada tanggal 22 – 25
Desember 1928 di Yogyakarta yang dihadiri oleh
perwakilan dari 30 perkumpulan perempuan di
seluruh Indonesia. Ada juga lagu Indonesia Ibuku,
Bendera Kita Merah Putih, Mars Parindra, Mars
Soerya Wirawan, dll.
Menjelang akhir hayatnya, Wage menciptakan
sebuah lagu yang berjudul Matahari Terbit, yang
juga dilarang diperdengarkan di muka umum karena
dianggap mengandung ‘simpati’ terhadap
kekaisaran Jepang. Ia pun akhirnya ditangkap oleh
polisi Hindia Belanda pada tanggal 7 Agustus
1938.10 hari setelah ditangkap, Wage wafat. Ia
mendapat gelar Pahlawan Nasional di era
pemerintahan Soeharto pada tanggal 20 Mei 1971.
Wage Rudolf Supratman adalah seorang musisi
yang membuktikan bahwa musik bukan hanya
berfungsi untuk hiburan semata, tetapi juga dapat
menghasut, dan tentu saja berfungsi sebagai alat
pemersatu, seperti yang dilakukannya 85 tahun
yang lalu pada hari ini.
Sumber